betapa wajah yang kupandangi saat ini, matanya masih tetap bercahaya, tak berubah sejak pertama kali aku mengenalnya dekat. dan itu sudah lama sekali, saat kami masih sama-sama mengenakan pakaian putih-biru. dan tahukah kau, pupilnya akan ikut membesar lalu mengecil seiring dengan berubahnya nada bicaraku. tatapannya selalu serius saat aku menyampaikan sesuatu. senyumnya selalu berkembang meskipun lawakanku tidak lucu. komentarnya tak jarang pedas jika menanggapi pembicaraanku yang menurutnya kurang tepat. dan tangannya yang telapaknya sebesar wajahku itu, selalu mengusap pipiku lembut.
tak pernah ia tak menawarkan tangannya saat kami menyebrang jalan. tak pernah ia mau membiarkanku terkena gerimis meskipun gerimis itu hanyalah tetesan-tetesan kecil air yang turun dari langit. tak pernah pula ia membiarkanku pergi sendirian, apalagi jika hari telah gelap.
selalu ia menyempatkan apapun hanya untukku. kabur dari rapat organisasi sekolah, pulang cepat saat makan-makan di rumah teman sekelasnya, atau bahkan jika itu adalah pertemuannya dengan orang nomor satu di seluruh negeri, ia akan pulang secepat kilat saat aku memintanya untuk datang menemuiku.
aku tahu, ia akan menyanggupi apapun. tak mungkin berkata tidak, tak ingin berkata tak mampu, bahkan ia takkan sanggup berkata tak mau. aku tahu persis. aku tahu ia akan sanggup berenang melewati ribuan piranha bila itu adalah satu-satunya cara yang bisa mempertemukanku padanya.
betapa bodohnya aku menyiakannya. betapa angkuhnya aku mengacuhkannya. betapa aku terlambat memahami ini. aku terlalu tolol, lebih tolol dari orang tolol yang berusaha menjahit lempengan besi dengan benang dan jarum jahit.
dan kini aku tahu, tidak akan ada yang pantas menggantikannya. bahu ini akan selalu aku sediakan untuk jadi tempatnya bersandar.
maafkan aku, akan kuizinkan ia memanjati hatiku kembali.
sesungguhnya aku tidak pernah berhenti mencintainya :")
No comments:
Post a Comment